Jumat, 16 Juni 2017

EKSISTENSIALISME-JEAN PAUL SARTRE

EKSISTENSIAL MANUSIA MENURUT JEAN PAUL SARTRE

Jean Paul Sartre (1905-1980) dalam pemikirannya banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari fenomenologi Husserl, Sartre melihat dua hal penting. Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan-kegiatan atau penyelidikan-penyelidikan filsafat. Kedua, pentingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri” (Zu den sachen selbst). Sartre menulis dalam L’imagination bahwa “fenomenologi Husserl dengan gemilang membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan bertolak dari titik nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesa-hipotesa, dan tanpa teori-teori prafenomenologis”. Menurut Sartre, gejala-gejala dasar manusia seperti kesadaran, emosi, imajinasi, dan fantasi memang harus diselidiki secara langsung, tanpa menggunakan asumsi-asumsi atau teori-teori prafenomenologis yang deterministik dan mekanistik.Akan tetapi, disamping pengakuannya tentang fenomenologi Husserl, ia mengecam idealisme Husserl yang tidak realistik, dimanakesadaran tidak dihubungkan dengan adanya dunia. Dunia (dan eksistensi) oleh Husserl justru direduksi (ditunda) dan tidak pernah ditempatkan lagi sebagai realitas yang menopang kesadaran.
 Hal ini berbeda dengan Sartre yang menggunakan fenomenologi secara lebih realistik, dimana ia mengakui bahwa “menyelidiki kesadaran pasti akan bertautan dengan menyelidiki dunia”. Oleh karena itu, pemikiran Sartre lebih dekat dengan fenomenologi Heidegger dimana beberapa konsepsi Heidegger coba diambil alih dan dimodifikasi oleh Sartre. Bukan hanyadalam hal realistiknya melainkan juga dalam hal analog-analog yang terdapat di dalam pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang dikemukakan oleh Sartre.

Dalam Saint Genet, Sartre merumuskan seluruh usaha filsafatnya dalam satu kalimat pendek: “merekonsiliasikan (mendamaikan) subjek dan objek.” Usaha ini barangkali didorong oleh pengalaman fundamental Sartre tentang kebebasan (diri sebagai subjek) dan tentang benda (objek). Kedua pengalaman ini, menurut pandangan Sartre, merupakan simbol kondisi manusia yang (di satu pihak) menganggap dirinya sebagai makhluk bebas, tetapi (di lain pihak) selalu dihadapkan pada kuasa atau daya tarik benda. Berkaitan dengan pengalaman tentang kebebasan adalah pengalaman tentang kesadaran sendiri. Dalam pandangan Sartre, pengalaman tentang kebebasan dan tentang kesadaran diri, bukanlah pengalaman yang mudah dan mengenakkan. Kebebasan dibebankan kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih, dan tanpa alternatif lain kita harus menerimanya begitu saja. Selain itu, kebebasan sangat rapuh dan dan selamanya berada dalam posisi yang rentan dan terancam sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sandaran yang kokoh untuk hidup kita.

Ancaman itu sejatinya berasal dari ”benda”. Benda memiliki daya tarik dan daya pikat yang luar biasa besar, yang mampu menjerat dan menghancurkan kebebasan.La nausse merupakan novel karangan Sartre yang berisi ilustrasi tentang ancaman benda terhadap kebebasan. Dalam novel tersebut dikisahkan tentang Antoine Roquentin yang merasa muak, merasa mau muntah, setelah melihat benda, yang esensinya sama sekali tidak bermakna, tidak beralasan, dan menyebabkan kedangkalan pada jiwa manusia. Akan tetapi, pesona benda jauh lebih menggoda dari pada kebebasannya, dan akhirnya memilih tunduk pada pesona dan kelimpah-ruahan benda. Di akhir cerita, pilihan yang dibuat Antoine pada prinsipnya merupakan pilihan yang sia-sia. Ia justru mengalami kegagalan total. Memilih untuk menyangkal kebebasan dan berserah diri pada benda, ternyata tidak berarti bisa lepas begitu saja dari kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan tidak dapat kita nafikan atau kita najiskan begitu saja, karena ia adalah ”takdir” yang telah dan akan selalu ada, mengikuti kemanapun kita pergi.

Pengalaman tentang kebebasan dan tentang benda tersebut mewarnai seluruh pemikiran Sartre sejak awal hingga akhir karir filsafatnya. Kedua pengalaman tersebut membawa Sartre pada pandangan dualistiknya yang terkenal: dualisme antara ada yang subjektif dan ada yang objektif, antara pour-soi dan en-soi, antara kebebasan dan ada. Dan antagonisme dari kedua instansi tersebut yang diusahakan oleh Sartre untuk direkonsiliasikan dalam filsafatnya.

Francis Jeanson, yang telah mengadakan penelaahan atas hampir seluruh karya dan biografi Sartre, mencoba memahami akar dualisme Sartre dan alasan Sartre mengupayakan rekonsiliasi antara kebebasan dan benda yang dianggapnya saling bertentangan itu dengan menunjuk pada dua tema lain dari pemikiran Sartre, yakni “haram jadah” (bastardy) dan “kebanggaan” (pride). Di dalam biografi Sartre, ditemukan tema dasar hidupnya yang tragis –karena masa lalunya sebagai anak yatim, yang dibesarkan dalam sepi dan dinginnya perpustakaan kakeknya yang keras kepala—yang menyakinkan dirinya bahwa eksistensinya adalah tidak sah, tidak pada tempatnya, dan tidak dikehendaki. Pengalaman ini menyakinkan pendiriannya, bahwa eksistensi manusia pada prinsipnya adalah sia-sia, absurd, penuh permusuhan dan syakwasangka. Pendiriannya ini semakin kokoh setelah mendapatkan pembenarannya di dalam pengalaman Heidegger tentang “keterlemparan”, dimana kita sebagai manusia sesungguhnya tidak mengetahui asal-usul dan alasan keberadaan hidup kita sendiri.

Petunjuk kedua, terdapat pada tema “kebanggaan”, yakni sebuah tema yang membawa Sartre pada humanisme eksistensial: kebanggaan bahwa manusia adalah satu-satunya pusat dari realitas. Dan atas dasar kebanggaan itulah Sartre, mengikuti Hasserl, hendak menghapus benda-benda dari kesadaran.Benda-benda adalah lawan tunggal kebebasan. Perlawanan-perlawanan Sartre terhadap benda-benda, adalah klimaks dari semangat pemberontakan Promothus melawan universum yang telah dibangun terutama sejak zaman Romantik. Pada saat yang bersamaan, perlawanan Sartre itu pun adalah perlawanan Kartesian dalam menaklukkan kegelapan bawah sadar pada zamannya, atau semangat Kantian dalam mempertahankan otonomi manusia dari kuasa-kuasa di luar manusia.
Untuk melihat pengaruh Sartre di dalam bidang filsafat dewasa ini, kita jangan melihatnya dari posisi akademis. Di dalam dunia akademis pengaruh Sartre bisa dibandingkan dengan posisi para filsuf besar pada abad pertengahan awal, atau para “philosophes” di Perancis. Ia tidak punya madzab, tidak punya sekolah, tapi ia memiliki sekelompok pengikut yang fanatik berkat majalah yang diterbitkannya, yaitu Les Temps moderness. Pengaruh filsafatnya pun memang kurang kelihatan. Pengaruhnya dalam bidang filsafat barangkali lebih kuat melalui provokasinya, ketimbang melalui transmisinya.

Namun pemikiran-pemikirannya tentang manusia, baik melalui filsafat maupun novel-novelnya, tidak boleh diabaikan begitu saja. Banyak hal baru dan menarik tentang manusia, diungkapkan oleh Sartre dengan cara yang gamblang dan berani. Banyak ruang-ruang gelap dan tidak terduga keberadaannya dalam pengalaman kita, disoroti oleh Sartre dengan sangat terang sehingga menghentakkan kesdaran kita, yang selama ini kita abaikan untuk memikirkannya.

 (Tulisan ini bersumber dari buku Filsafat Manusia karangan Zainal Abidin yang disadur dari buku Herbert Spiegelberg yang berjudul The Phenomenological Movement, 1971, volume two, The Hague: Martinus Nijhoff, hlm. 445-513)




Kamis, 01 Juni 2017

AUGUSTE COMTE

AUGUSTE COMTE

Isidore Auguste Marie François Xavier Comte atau yang lebih dikenal dengan Auguste Comte merupakan sosok filsuf besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme.

Aliran positivisme ini merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte  yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filsuf  kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme(Positivisme-Logis).

Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran besar tersebut. Disinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problem-problem mendasar tersebut.

Riwayat Hidup Auguste Comte

Auguste Comte merupakan filsuf dan warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.

Auguste Comte menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif secara langsung revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung  oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu. Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon, Comte mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi.

Meskipun Comte tidak menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari dua hal, yaitu sosial statis dan sosial dinamis. Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga kemasyarakatan. Sedangkan sosial dinamis melihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang.

Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles Lyell, dan Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai “hukum perkembangan” juga mempengaruhi pemikirannya. Kata “rasional” bagi Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni pengetahuan real yang diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi), eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh hukum yang sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme, tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio untuk mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas pemikiran yang demikian itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang dipakai adalah “Induktif-verifikatif”.

Setelah tulisan-tulisannya mulai beredar, Comte menjadi terkenal di seluruh Eropa bahkan melebihi ketenaran “sang majikan” Henry de’Saint Simon. Namun begitu, selama hidup ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengajar di Universitas. Comte juga senantiasa hidup dalam kemiskinan. Hal ini karena pekerjaannya sebagai pengarang dan guru pribadi tidak cukup untuk hidup. Hanya berkat sumbangan-sumbangan pengikutnya, antara lain dari filsuf Inggris John Stuart Mill, ia bisa makan.

Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary for Recognition of Society, dan Subjective Synthesis.

Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.

Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.


1. Tahap Teologis

Merupakan tahap paling awal dalam perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia berpikir bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa yang disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. Tahap ini dijumpai pada manusia purba, di mana alam semesta dimengerti sebagai keseluruhan yang integral dan terdiri dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka. Keseluruhan alam semesta ini dihayati sebagai sesuatu yang hidup, berjiwa, berkemauan, dan bertindak sendiri.
Ada beberapa cara berpikir dalam tahap ini:
a. Fetiyisme dan Animisme
Manusia purba tidak mengenal konsep abstrak; benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk konsep umum, tetapi sebagai sesuatu yang individual. Manusia mempercayai adanya kekuatan magis di benda-benda tertentu,  yang mempunyai jiwa dan rohnya sendiri.
b. Politeisme
Adalah pemikiran yang lebih maju, yang sudah mulai mengelompokkan semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebih umum berdasarkan kesamaan di antara mereka. Dalam tahap ini manusia tidak lagi berpikir tiap-tiap benda yang mempunyai roh, tapi tiap jenis atau kelas benda. Misalnya dalam cara berpikir animisme diyakini bahwa tiap sawah dan ladang dihuni oleh roh-roh leluhur penduduk desa, maka dalam cara berpikir politeisme diyakini bahwa Dewi Sri yang menghuni dan memelihara semua sawah dan ladang di desa manapun.

c. Monoteisme
Tahap tertinggi di mana manusia menyatukan roh (dewa) dari benda-benda, dan hanya mengakui satu Roh yang mengatur dan menguasai bumi dan langit. Semua benda dan kejadian, termasuk manusia, berasal dan berakhir dari kekuatan Roh itu, yaitu Tuhan.
Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang membawa pengaruh yang besar pada kehidupan manusia, karena dijadikan suatu pedoman hidup masyarakat dan landasan institusional dan alat jastifikasi suatu negara.

2. Tahap Metafisik

Pada prinsipinya hanya merupakan pengembangan dari tahap teologis. Perbedaan kedua cara berpikir tersebut adalah pada tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan bukti-bukti logis yang meyakinkannya tentang sesuatu dengan konsep-konsep abstrak dan metafisik. Manusia seringkali percaya bahwa Tuhan adalah makhluk abstrak, dan bahwa kekuatan atau kekuasaan abstrak itu menunjukkan dan menentukan setiap kejadian di dunia.
3. Tahap Positifistik

Disebut juga tahap ilmu pengetahuan, karena dalam tahap ini manusia sudah mampu berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan observasi, percobaan, dan perbandingan yang terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Hukum-hukum yang ditemukan dengan cara demikian bersifat praktis dan bermanfaat, karena dengan mengetahui dan menguasai hukum-hukum tersebut kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala atau kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan di masa depan yang lebih baik. Menurut Comte, positivisme adalah cara intelektual memandang dunia yang merupakan perilaku tertinggi dan paling berkembang dalam kehidupan manusia.

Bagaimanapun Comte sadar bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus sekalipun tidak merupakan jalan lurus. Tiga tahap berpikir tersebut mungkin hidup berdampingan dalam masyarakat yang sama walau mungkin tidak selalu berurutan. Misalnya, ketika seorang masih berpikir secara metafisik atau teologis, berarti ia masih berpikiran primitif walaupun hidup di zaman modern. Perkembangan intelektual (berpikir) berlaku bagi manusia, baik sebagai kelompok masyarakat, maupun sebagai indvidu.